Blora – Akhmad Agus Imam Sobirin (41) adalah salah satu santri almarhum KH Maimoen Zubair atau Mbah Moen yang berdomisili di Desa Turirejo, Kecamatan Jepon, Kabupaten Blora. Dia pontang-panting memperjuangkan nasibnya yang pupus tidak jadi dilantik menjadi seorang perangkat desa.
Santri jebolan Pondok Pesantren Sarang, Kabupaten Rembang ini mengaku telah mengikuti seluruh tahapan rekrutmen perangkat desa. Dari sebanyak 26 peserta, nilai yang didapatkannya dinyatakan paling unggul dibanding peserta yang lainnya.
“Mulai pendaftaran, administrasi, semuanya telah disahkan. Terus saat tes komputer saya mampu lulus, dan saat tertulis saya juga lulus. Nilai saya 80, dan di bawah saya nilainya 78,” ujar Agus , Sabtu (1/5/2021).
Agus menyampaikan, bahwa proses tahapan tersebut telah dilaluinya semua beberapa bulan lalu. Perjalanannya menjadi perangkat desa, dipermasalahkan karena ijazahnya dicap produk pondok pesantren yang tidak laku untuk mengabdi di tingkat desa. Akhirnya dia pun tidak jadi dilantik.
Menurutnya, berbagai upaya komunikasi dengan sejumlah pihak telah dilakukannya. Semata-mata demi tujuan agar dirinya tidak digagalkan menjadi perangkat desa.
Tak hanya itu, sejumlah berkas yang diminta sejumlah pihak juga telah diurusnya dari Jawa Timur. Sebelum nyantri di almarhum Mbah Moen, ternyata dia bertahun-tahun pernah juga nyantri di pondok pesantren daerah Nganjuk, Jawa Timur.
“Saya kan lulusan dari salaf pesantren di Nganjuk juga. Lha ijazahku itu dinyatakan nonformal. Menurut Blora kan harus formal, dijegalnya karena itu. Saya tidak bisa masuk jadi Sekdes karena dianggap tidak memenuhi syarat,” ungkap Agus, sambil ditemani dua orang temannya.
Mengetahui sejumlah berkas dan penyampaiannya ini, seperti dilansir dari Liputan6.com, yang selanjutnya mengkonfirmasi Camat Jepon, Ani Wahyu Kumalasari. Dia membenarkan terkait adanya perubahan BAP hasil seleksi Perangkat Desa Turirejo Tahun 2021 yang telah ditandatanganinya beberapa waktu lalu.
Namun begitu, Ani menyatakan, bahwa pihaknya tanpa muatan atau kepentingan apapun atas kejadian ini. Tugas yang dijalankannya itu, klaim dia berdasarkan perundang-undangan yang telah ditetapkan.
“Sesuai Peraturan Bupati (Perbup), ijazahnya harus formal,” kata Ani.
Agus memastikan, bahwa dirinya tidak akan tinggal diam saja karena merasa dirugikan sebagai korban alias tumbal administratif yang dilakukan oleh pihak panitia penyelenggara rekrutmen perangkat desa sendiri.
“Harusnya jika ingin menggagalkan itu dari awal, tapi ini saya dijegal sebelum dilantik,” jelasnya.
Lebih lanjut, kini peserta yang nilainya di peringkat nomor 2 sudah dilantik pada hari Jumat (30/4/2021) lalu. Masalah ini bergulir dan rencana akan digugat pihak Agus ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).