UU Desa, Regulasi Menarik Yang Selalu Menanti Untuk Dilakukan Revisi

Jakarta – Pembahasan tentang perubahan atas UU No 06 Tahun 2014 selalu menjadi kajian yang menarik, dari tahun ke tahun selalu saja ada upaya untuk melakukan revisi atas regulasi tentang desa tersebut.

Undang-undang yang disahkan melalui siding paripurna di Gedung DPR RI pada 18 Desember 2013 ini, pada tahun 2022 ini saja sudah tercatat 2 kali diajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.

Dalam rekam media digital uji materi pertama kali dilakukan pada bulan April 2022, saat itu para Pemohon mengujikan Pasal 25, Pasal 39, dan Pasal 48 UU Desa terhadap Pasal 18 Ayat (2) dan Ayat (6) serta Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.

Permohonan pengujian materi UU Desa ini diajukan oleh 6 kepala desa dan 1 perangkat desa yakni Endang Kusnandar (Pemohon I), Asyriqin Syarif Wahadi (Pemohon II), Kahono Wibowo (Pemohon III), Mohamad Abrurrahman (Pemohon IV), Yusran (Pemohon V), Pipit Haryanti (Pemohon VI), dan Rusmanto (Pemohon VII).

Mahkamah dalam pertimbangan hukum yang dibacakan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyatakan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUUXIX/2021 bertanggal 20 September 2021, yang pada intinya menyatakan konstitusional bersyarat dengan amar putusan bahwa masa jabatan kepala desa adalah enam tahun dan jika terpilih kembali maka yang bersangkutan dapat menduduki jabatannya hingga 3 (tiga) periode atau sama dengan maksimal 18 (delapan belas) tahun, baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut.

Sementara itu, terkait dengan ketentuan masa jabatan kepala desa di Desa Adat telah pula mengikuti ketentuan Pasal 109 UU Desa. Ketentuan tersebut menyatakan untuk pengisian jabatan dan masa jabatan Kepala Desa Adat berlaku ketentuan hukum adat di Desa Adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.

“Oleh karena itu, dalil Pemohon I sampai dengan Pemohon VI yang menginginkan agar masa jabatan kepala desa ditentukan oleh desa itu sendiri, justru akan menimbulkan tumpang tindih dengan pengaturan bagi Desa Adat sepanjang memenuhi persyaratan ketentuan Pasal 97 UU 6/2014. Desa adat dapat mengatur sendiri masa jabatan kepala desanya yang dapat tidak mengikuti ketentuan periodesasi yang ditentukan dalam Pasal 39 UU 6/2014,” jelas Enny dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dari Ruang Sidang Pleno MK, pada 20 April 2022.

Berikutnya terkait dengan permohonan Pemohon I sampai dengan Pemohon VI yang mengatakan masa jabatan Kepala Desa yang bukan Desa Adat dipilih secara langsung oleh dan dari penduduk desa yang memenuhi persyaratan sehingga bagi Kepala Desa tersebut berlaku periodesasi sebagaimana ketentuan Pasal 39 UU Desa dan Penjelasan alinea kedua, hal ini telah diberikan pemaknaan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUUXIX/2021. Mahkamah berpendapat jika ketentuan demikian dihilangkan dan diatur sendiri oleh masyarakat desa, maka hal demikian justru akan menimbulkan ketidakjelasan perbedaan antara desa dan desa adat.

“Oleh karenanya, persoalan ketidakcukupan waktu bagi kepala desa dalam menjalankan visi dan misinya selama periode masa jabatan 6 (enam) tahun sebagaimana dalil Pemohon I sampai Pemohon VI, bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma,” kata Enny.

Terlebih jika dibandingkan dengan masa jabatan pejabat publik lain yang juga dipilih secara langsung, yakni ditentukan hanya 5 (lima) tahun dan dapat dipilih lagi untuk sekali masa jabatan, sehingga jika menjabat 2 (dua) kali masa jabatan menjadi maksimal 10 (sepuluh) tahun. Sementara, masa jabatan Kepala Desa dapat maksimal hingga 18 (delapan belas) tahun. Oleh karena itu, seharusnya Kepala Desa tersebut dapat memaksimalkan pelaksanaan visi dan misinya jika terpilih kembali. Pada akhirnya, atas  persoalan stabilitas politik yang didalilkan Pemohon I sampai dengan Pemohon VI karena Kepala Desa yang telah menjabat harus berkompetisi kembali untuk masa jabatan berikutnya, Mahkamah mendapati hal demikian merupakan ekspresi dari kekhawatiran para Pemohon dan tidak berkaitan dengan persoalan konstitusionalitas norma Pasal 39 ayat (1) UU 6/2014.

Implementasi Norma

Berkenaan dengan persoalan penyebutan Perangkat Desa yang menurut Pemohon VII tidak sesuai dengan kearifan lokal karena diseragamkan, Hakim Konstitusi Enny menyebutkan bahwa penyebutan desa dan desa adat telah diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah sesuai dengan prinsip otonomi daerah. Hal ini bermakna telah diberikannya pengakuan dan penghormatan atas desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Oleh karenanya, UU Desa tidak melakukan upaya penyeragaman penyebutan. Bahkan, sambung Enny, desa dapat menggunakan sebutan lain yang didasarkan pada hak asal usul desa yang sudah sejak lama dikenal oleh masyarakat desa. Dengan demikian, desa dapat lebih mudah melakukan kewajiban untuk mengembangkan pemberdayaan masyarakat desa dan memberikan serta meningkatkan pelayanan kepada masyarakat desa.

“Berdasarkan pertimbangan tersebut menurut Mahkamah, tidak terdapat persoalan  konstitusionalitas norma dalam Pasal 48 UU 6/2014. Sementara itu, berkaitan dengan dalil Pemohon VII mengenai ketidaktahuan calon Perangkat Desa terkait tugas dan kewajiban yang akan dijabat karena adanya penyeragaman penyebutan Perangkat Desa, hal tersebut bukanlah persoalan konstitusionalitas norma melainkan merupakan implementasi norma,” jelas Enny.

Uji Materi Tentang Status Perangkat Desa

Sementara itu pada uji materi terhadap Undang-undang desa dilakukan pada 27 Oktober 2022, dengan pemohon Hendra Juanda, Wibowo Nugroho, Yuliana Efendi, Fredi Supriadi dan Utep Ruspendi yang berprofesi sebagai perangkat desa.

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji materiil Pasal 1 sampai dengan Pasal 95 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) terhadap UUD 1945. Pemeriksaan Pendahuluan. Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 102/PUU-XX/2022 .

Dalam sidang perdana yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra tersebut, Hendra Juanda yang merupakan sekretaris desa menyampaikan bahwa ia mengajukan pemohonan pengujian UU Desa. Menurutnya, adanya UU Desa tidak berdampak pada kesejahteraan hidup para perangkat desa dan justru dirugikan.

Dalam permohonannya, para Pemohon menyebutkan pengundangan UU Desa sangat merugikan para Pemohon dan rakyat Indonesia secara keseluruhan. Kerugian yang diderita para Pemohon dan warga desa seluruh Indonesia sebagai akibat pemberlakuan UU Desa adalah faktual.  Dengan kebijakan politik desa melalui UU Desa, para Pemohon dan warga desa seluruh Indonesia terugikan.

Perangkat desa sangat terugikan karena diberi tugas oleh negara untuk melaksanakan undang-undang, tapi tidak diangkat sebagai ASN. Rakyat desa sangat terugikan karena tidak diurus oleh satuan pemerintahan formal sebagaimana warga kota. Akibatnya warga desa hanya dilayani oleh organisasi pemerintah semu dengan perangkat desa yang tidak kompeten dan profesional karena mereka bukan aparatur sipil negara yang direkrut, dikembangkan, diberi jabatan karir, digaji, dan pensiun sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.

Oleh karena itu, para Pemohon mohon agar Pasal 1 sampai dengan Pasal 95 UU 6/2014 dibatalkan karena bertentangan dengan Pasal 4, Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 juncto TAP MPR IV/2000, Angka [3.10.1] – [3.10.4] juncto Putusan MK Nomor 128/PUU-XIII/2015, dan sangat merugikan hak-hak konstitusional perangkat desa dan warga desa seluruh Indonesia.

Menanggapi permohonan pemohon, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams meminta pemohon untuk menguraikan kedudukan hukum dari masing-masing pemohon.

“Berlima itu atau satu persatu tentu harus diuraikan Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV dan Pemohon IV syarat konstitusional itu ada atau enggak uraikan  secara betul dan logis,” jelas Wahiduddin.

Sementara Hakim Konstitusi Suhartoyo menyarankan para pemohon untuk memperbaiki sistematika permohonan.

“Sistematika harus diperbaiki yang utama karena bapak-bapak belum pernah beracara di MK soal kewenangan MK, kemudian kedudukan hukum dan alasan-alasan permohonan serta petitum. Nanti bisa dilihat permohonan-permohonan yang dikabulkan MK pasti sistematikanya sudah benar termasuk bagian-bagian lainnya. Oleh karena itu tanpa bermaksud mencampuri pilihan-pilihan yang menjadi hak pemohon, saya mendorong supaya dipertimbangkan kembali mengenai banyaknya pasal-pasal yang diajukan permohonan. Tentunya tidak semua akan berkorespondensi dengan anggapan kerugian konstitusi yang khusus,” terang Suhartoyo.

Dari kedua uji materi ini secara umum bisa dikatakan menjadi 2 tema secara garis besar, uji materi pertama lebih ke kepentingan kepala desa dan yang kedua untuk kepentingan perangkat desa.

Meski belum menemui titik terang terkait dengan perubahan atas undang-undang desa ini, semoga saja kedepan Pemerintah dan DPR mampu melakukan perubahan atas regulasi ini demi kepentingan masyarakat desa, pemerintah desa dan stakeholder yang ada di desa.

About admin

Check Also

Status Kepegawaian Perangkat Desa, Menunggu Revisi UU Desa Ataukah Judicial Review Di MK ?

JAKARTA – Keinginan perangkat desa dari Sabang hingga Merauke untuk mendapatkan kejelasan status kepegawaian menjadi …

(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *