Jakarta – Resmi sudah seluruh fraksi di parlemen memberikan persetujuan terhadap Revisi UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa menjadi usul inisiatif DPR. Babak baru pun bakal menentukan nasib RUU Desa melalui pembahasan bersama pemerintah. Sejumlah isu penting yang menjadi persoalan dalam implementasi UU 6/2014 bakal dibenahi melalui revisi. Seperti adanya kenaikan anggaran desa.
Dilansir dari hukumonline.com, Ombudsman RI mencatat persoalan yang kerap dilaporkan masyarakat terkait pemberhentian perangkat desa. Periode 2020-Juni 2023 Ombudsman mencatat setidaknya ada 352 laporan terkait pemberhentian perangkat desa. Komisioner Ombudsman Dadan Suparjo Suharmawijaya menilai penguatan kedudukan perangkat desa yang diatur dalam UU 6/2014 belum terakomodir dalam aturan di bawahnya. Walhasil, berbagai permasalahan pemberhentian perangkat desa dapat berimplikasi pada pelayanan publik kepada masyarakat.
Dadan menilai kepala daerah menafsirkan UU 6/2014 secara berbeda-beda. Begitu juga dengan proses pemberhentian kepala desa. Tercatat Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) telah menerbitkan beberapa peraturan terkait pemberhentian kepala desa. Antara lain Permendagri No.67 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Permendagri No.83 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa. Beleid itu intinya, menghindari pemberhentian perangkat desa yang dilakukan semena-mena oleh kepala daerah.
“Ada yang berani membuat aturannya lebih rinci namun ada juga yang tidak berani dengan asumsi takut bertentangan dengan peraturan di atasnya. Padahal sebetulnya bisa kita pahami ketika Kemendagri membuat pedoman yang sifatnya generik, harapannya dapat diterjemahkan lebih detil lewat peraturan daerah atau kepala daerah,” ujarnya sebagaimana dilansir dari laman Ombusman, Selasa (11/7/2023) kemarin.
Di tempat yang sama, Kepala Keasistenan Utama IV Ombudsman, Dahlena mengatakan lembaga negara tempatnya bernaung menemukan faktor internal dan eksternal pemicu terjadinya pemberhentian perangkat desa. Faktor internal, antara lain terkait netralitas dimana terdapat perbedaan pilihan politik antara Kepala Desa dengan Perangkat Desa. Kemudian terkait kompetensi dimana perangkat desa dianggap tidak memiliki kompetensi dalam menjalankan tugas dan fungsi.
Ada juga pemberhentian perangkat desa karena indikator kerja, di mana belum adanya pedoman untuk mengukur kinerja perangkat desa. Selain itu Dahlena menyebut dalam beberapa kasus terjadi ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan sehingga terjadi pemberhentian tanpa rekomendasi Camat. Selain itu ada pula terkait perspektif otonomi desa, di mana pemilihan langsung kepala desa dipandang sebagai wujud otonomi desa.
Faktor eksternal yang mempengaruhi pemberhentian perangkat desa seperti pemilihan kepala desa yang berhubungan dengan janji politik dari kepala daerah terpilih, belum optimalnya pengawasan dan pembinaan oleh Camat. Serta absennya pengaturan sanksi adminstrasi dalam pelaksanaan, belum tersedianya standar operasional prosedur (SOP) penerbitan rekomendasi kecamatan atas usulan pemberhentian kepala daerah dan adanya kekosongan hukum.
Dahlena menjelaskan masalah pemberhentian perangkat desa membuat suasana tidak kondusif bahkan dalam beberapa kasus persoalannya sampai ke aparat penegak hukum dan pengadilan. Ombudsman berharap betul ke depannya bakal adanya perbaikan tata kelola pemerintahan desa khususnya mengenai pemberhentian ini.
“Bagi kami pencegahan maladministrasi agar tidak terjadi berulang itu adalah titik poinnya,” tukasnya.