JAKARTA – oleh Kepala BPI Kemendesa PDTT, Ivanovich Agusta Ivanovich menegaskan didalam undang-undang nomor 6 tahun 2014 itu, melihat secara keseluruhan tentang desa. Dari situlah, terdapat sisi positif bahwa semua pihak dapat menilai dan menyadari betapa penting desa itu sendiri.
Hal ini disampaikan disaat Badan Pengembangan dan Informasi (BPI), Kemendes PDTT menggelar diskusi publik bertema “Mendalami Paradigma Undang-undang Desa nomor 6 tahun 2014” pada Selasa (30/1/2024).
Di awali oleh Kepala BPI Kemendesa PDTT, Ivanovich Agusta mengulas kembali point-point di dalam rancangan revisi undang-undang desa nomor 6 tahuh 2014, diantaranya, masih mengenai jabatan Kepala Desa (Kades), Perangkat Desa serta Badan Pendamping Desa (BPD).
Menurutnya, mungkin perlu mempunyai strategi lain untuk merevisi melalui turunan di undang-undang sebelumnya.
“Kita perlu mengetahui kembali filosofi, paradigma undang-undang desa,” kata, Ivanovich.
Ivanovich mengingatkan kembali catatan singkat saat merumuskan undang-undang desa terdapat beberapa indikator. Awalnya, ada menganggap itu bukan undang-undang desa, lalu, di bandingkan dengan undang-undang nomor 5 tahuh 1979 tentang pemerintahan desa.
“Semangat itu yang muncul di sana,” ujar Ivanovich seperti yang dikutip dari media rakyat.news.
Tetapi jika dicermati, bahwa pasal 18 huruf b ayat 2 undang-undang dasar 1945, secara filosofi pemahamannya disamakan dengan undang-undang nomor 5 tahun 1979, akan disebutkan desa itu kesatuan wilayah hukum dibawah Kecamatan dan sebagainya.
Ivanovich mengatakan sangat berbeda dengan melihat definisi dari undang-undang desa nomor 6 tahun 2014 yaitu berbuyi desa adalah wilayah hukum yang di akui di bawah Negara Kedaulatan Negara Indonesia (NKRI).
“Kesimpulannya, dimana undang-undang desa berazaskan pasal 18 hurub b ayat 2 undang-undang dasar 1945, jelas disebutkan bahwa desa wilayah yang mempunyai asal- usul hak istimewa di hadapan negara,” pungkasnya
Yang terakhir, Ivanovich menyampaikan dalam hal itu mewujudkan dua azas, yaitu azas subsidiaritas dan rekognisi.
Sementara itu, Panudi selaku Tenaga Pendamping Profesional (TPP) wilayah Klaten, Jawa Tengah lebih menyetujui untuk menggaungkan ruh dalam undang-undang desa nomor 6 tahun 2014. Dengan cara, terus mengulas asal- usul atau rekognisi yang harus di implementasikan di publik.
Menurutnya, publik ingin mengetahui seberapa jauh implementasi dari undang-undang desa nomor 6 tahun 2014.
” Apa istilahnya mengalir saja, dari regulasi oke, kebijakan Kementrian oke,” imbuhnya.