JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) tidak dapat diterima. Mahkamah juga menyatakan menolak permohonan para Pemohon. Demikian petikan amar Putusan Nomor 3/PUU-XX/2022 yang dibacakan dalam persidangan di MK, Rabu (20/04/2022). Permohonan pengujian materi UU Desa ini diajukan oleh 6 kepala desa dan 1 perangkat desa yakni Endang Kusnandar (Pemohon I), Asyriqin Syarif Wahadi (Pemohon II), Kahono Wibowo (Pemohon III), Mohamad Abrurrahman (Pemohon IV), Yusran (Pemohon V), Pipit Haryanti (Pemohon VI), dan Rusmanto (Pemohon VII). Para Pemohon mengujikan Pasal 25, Pasal 39, dan Pasal 48 UU Desa terhadap Pasal 18 Ayat (2) dan Ayat (6) serta Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
Dilansir dari mkri.id, Mahkamah dalam pertimbangan hukum yang dibacakan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyatakan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUUXIX/2021 bertanggal 20 September 2021, yang pada intinya menyatakan konstitusional bersyarat dengan amar putusan bahwa masa jabatan kepala desa adalah enam tahun dan jika terpilih kembali maka yang bersangkutan dapat menduduki jabatannya hingga 3 (tiga) periode atau sama dengan maksimal 18 (delapan belas) tahun, baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut.
Sementara itu, terkait dengan ketentuan masa jabatan kepala desa di Desa Adat telah pula mengikuti ketentuan Pasal 109 UU Desa. Ketentuan tersebut menyatakan untuk pengisian jabatan dan masa jabatan Kepala Desa Adat berlaku ketentuan hukum adat di Desa Adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.
“Oleh karena itu, dalil Pemohon I sampai dengan Pemohon VI yang menginginkan agar masa jabatan kepala desa ditentukan oleh desa itu sendiri, justru akan menimbulkan tumpang tindih dengan pengaturan bagi Desa Adat sepanjang memenuhi persyaratan ketentuan Pasal 97 UU 6/2014. Desa adat dapat mengatur sendiri masa jabatan kepala desanya yang dapat tidak mengikuti ketentuan periodesasi yang ditentukan dalam Pasal 39 UU 6/2014,” jelas Enny dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dari Ruang Sidang Pleno MK.
Berikutnya terkait dengan permohonan Pemohon I sampai dengan Pemohon VI yang mengatakan masa jabatan Kepala Desa yang bukan Desa Adat dipilih secara langsung oleh dan dari penduduk desa yang memenuhi persyaratan sehingga bagi Kepala Desa tersebut berlaku periodesasi sebagaimana ketentuan Pasal 39 UU Desa dan Penjelasan alinea kedua, hal ini telah diberikan pemaknaan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUUXIX/2021. Mahkamah berpendapat jika ketentuan demikian dihilangkan dan diatur sendiri oleh masyarakat desa, maka hal demikian justru akan menimbulkan ketidakjelasan perbedaan antara desa dan desa adat.
“Oleh karenanya, persoalan ketidakcukupan waktu bagi kepala desa dalam menjalankan visi dan misinya selama periode masa jabatan 6 (enam) tahun sebagaimana dalil Pemohon I sampai Pemohon VI, bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma,” kata Enny.
Terlebih jika dibandingkan dengan masa jabatan pejabat publik lain yang juga dipilih secara langsung, yakni ditentukan hanya 5 (lima) tahun dan dapat dipilih lagi untuk sekali masa jabatan, sehingga jika menjabat 2 (dua) kali masa jabatan menjadi maksimal 10 (sepuluh) tahun. Sementara, masa jabatan Kepala Desa dapat maksimal hingga 18 (delapan belas) tahun. Oleh karena itu, seharusnya Kepala Desa tersebut dapat memaksimalkan pelaksanaan visi dan misinya jika terpilih kembali. Pada akhirnya, atas persoalan stabilitas politik yang didalilkan Pemohon I sampai dengan Pemohon VI karena Kepala Desa yang telah menjabat harus berkompetisi kembali untuk masa jabatan berikutnya, Mahkamah mendapati hal demikian merupakan ekspresi dari kekhawatiran para Pemohon dan tidak berkaitan dengan persoalan konstitusionalitas norma Pasal 39 ayat (1) UU 6/2014.
Berkenaan dengan persoalan penyebutan Perangkat Desa yang menurut Pemohon VII tidak sesuai dengan kearifan lokal karena diseragamkan, Hakim Konstitusi Enny menyebutkan bahwa penyebutan desa dan desa adat telah diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah sesuai dengan prinsip otonomi daerah. Hal ini bermakna telah diberikannya pengakuan dan penghormatan atas desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Oleh karenanya, UU Desa tidak melakukan upaya penyeragaman penyebutan. Bahkan, sambung Enny, desa dapat menggunakan sebutan lain yang didasarkan pada hak asal usul desa yang sudah sejak lama dikenal oleh masyarakat desa. Dengan demikian, desa dapat lebih mudah melakukan kewajiban untuk mengembangkan pemberdayaan masyarakat desa dan memberikan serta meningkatkan pelayanan kepada masyarakat desa.
“Berdasarkan pertimbangan tersebut menurut Mahkamah, tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma dalam Pasal 48 UU 6/2014. Sementara itu, berkaitan dengan dalil Pemohon VII mengenai ketidaktahuan calon Perangkat Desa terkait tugas dan kewajiban yang akan dijabat karena adanya penyeragaman penyebutan Perangkat Desa, hal tersebut bukanlah persoalan konstitusionalitas norma melainkan merupakan implementasi norma,” jelas Enny.
Sebagaimana diketahui, para Pemohon menyatakan rekonstruksi UU Desa tidak membedakan antara desa dan desa adat. Padahal, desa berlaku umum sedangkan desa adat memiliki pengaruh adat terhadap sistem pemerintah lokal, pengelolaan sumber daya, dan kehidupan sosial budaya masyarakat desa tersebut. Para Pemohon menilai UU Desa telah keliru memahami dan memaknai kedudukan desa sehingga menggiring semua desa menjadi desa administratif.
Selain itu, pada perkara ini para Pemohon juga mengajukan pokok permohonan di antaranya tentang pemerintah desa dan kepala desa; pemilihan kepala desa yang diatur secara limitatif sehingga desa kehilangan ciri khas dalam model demokrasi untuk pemilihan pemimpin desa; pemberhentian kepala desa; dan permasalahan perangkat desa yang diatur secara normatif sehingga menimbulkan kebingungan masyarakat pada beberapa desa yang tidak mengenal sekretaris desa dan perangkat lainnya.