Yogyakarta – Mahkamah Konstitusi bekerja sama dengan Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” melaksanakan peresmian pemanfaatan smartboard mini court room persidangan jarak jauh sekaligus menggelar Seminar Nasional pada Jumat (10/3/2023) di Yogyakarta. Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams hadir bersama dengan Sutoro Eko Yunanto selaku Ketua STPMD “APMD” sebagai narasumber.
Dilansir dari mkri.id, Wahiduddin berharap, fasilitas mini court room yang dilengkapi dengan smart board pada setiap kampus yang diberikan oleh MK ini dapat menjadi sarana penunjang kegiatan belajar mengajar. Selain itu, sebagai sarana bagi penyebarluasan pengetahuan dan pemahaman tentang konstitusi di kalangan sivitas akademika.
Dalam seminar nasional bertema “Merepresentasikan Kepentingan Masyarakat Setempat sebagai Basis Desa Adil Makmur”, Wahiduddin membahas mengenai keberadaan desa dan norma-norma terkait yang menjadi perangkat pendukung dalam pembangunannya. Desa merupakan unit kecil dalam kehidupan bernegara yang bersifat dinamis dan keberadaannya diatur dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Norma ini, kata Wahiduddin, menjadi suatu upaya hukum bagi pelaksanaan pembangunan masyarakat desa. Untuk pelaksanaannya, dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Di dalamnya terdapat ketentuan tentang kelembagaan desa dan pembangunannya.
“Melalui norma ini desa menjadi basis untuk pengembangan masyarakat, yang semua aktivitas untuk kemajuannya diserahkan kepada masyarakatnya langsung guna menciptakan sendiri kehidupan masyarakat adil dan makmur bagi masyarakat desa itu sendiri,” jelas Wahiduddin dalam kegiatan yang dipandu dosen STPMD Fatih Gama selaku moderator.
Sebagai ilustrasi, Wahiduddin menceritakan sebuah desa yang pada pelaksanaan regulasinya dapat saja membuat ketentuan yang disesuaikan dengan pola pengembangan kemajuan masyarakatnya. Misalnya saja, sebuah desa dapat membuat sebuah norma tentang pidana.
Hal ini mengingat kondisi daerah yang membutuhkan norma hukum yang tegas untuk mengatur ketertiban masyarakatnya. Ada pula desa yang dapat membuat ketentuan terkait anggaran untuk pembangunan dan pembinaan keuangan desanya.
Namun kemandirian ini harus diselaraskan dan disinkronisasikan dengan Kementerian Desa. Sehingga autoaktivitas, kreativitas, serta ruang bagi masyarakat untuk ambil bagian dalam membangun desa tetap dalam ketentuan norma yang telah ditetapkan secara bersama-sama dalam kehidupan bernegara.
“Sebagaimana dalam undang-undang disebutkan tujuan pelaksanaan desa adalah terwujudnya desa yang mandiri, maju, dan sejahtera tanpa kehilangan jati diri. Penjelasan dalam undang-undang ini telah tegas mengatakannya. Kita maju, mandiri, sejahtera, tetapi kalau kita sampai kehilangan jati diri, maka ini tidak mudah.
Jadi kita harus mencari kriterianya, kreativitas menjaganya, dan ingat akan identitas kita bagaimana membangun desa dengan modal dasar dari potensi setempat dan didorong menjadi maju, mandiri, sejahtera, tetapi tidak kehilangan jati diri,” jelas Wahiduddin pada akhir paparannya.
Keberadaan Desa
Selanjutnya pada sesi tanya jawab, salah seorang peserta seminar nasional menanyakan kedudukan desa dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, apakah desa menjadi bawahan dari pemerintahan kabupaten? Wahiduddin pun menjawab bahwa hal ini dapat dilihat pada UU Desa yang menjelaskan terkait perangkat desa dengan sistemnya, meski yang bertanggung jawab atas keberadaan sebuah desa diamanatkan kepada Menteri Dalam Negeri.
“Bahwa Kepala Desa itu dipilih dan tidak diangkat, sehingga ini menjadi sebuah konsep bagaimana upaya menjadikan desa itu mandiri, sejahtera, dan adil. Hal ini kita dapat lihat bagaimana masyarakat kemudian dilayani kesejahteraannya, di mana kehidupan pemerintahannya tidak lagi bersifat sentralistik, tetapi sudah desentralistik melalui otonomi daerah yang telah mengubah pelaksanaan kebijakan. Sehingga desa setempat dapat mengatur potensi daerahnya menjadi lebih maju,” terang Wahiduddin.
“Bahwa Kepala Desa itu dipilih dan tidak diangkat, sehingga ini menjadi sebuah konsep bagaimana upaya menjadikan desa itu mandiri, sejahtera, dan adil. Hal ini kita dapat lihat bagaimana masyarakat kemudian dilayani kesejahteraannya, di mana kehidupan pemerintahannya tidak lagi bersifat sentralistik, tetapi sudah desentralistik melalui otonomi daerah yang telah mengubah pelaksanaan kebijakan. Sehingga desa setempat dapat mengatur potensi daerahnya menjadi lebih maju” terang Wahiduddin.
Namun pada faktanya, desa tidak mandiri. Terutama dalam Perncanaan Pembangunan Desa melalui Forum Musdes atau Musrenbangdes. Karena pada saat implementasi pelaksanaan anggaran selalu “DIATUR” dengan sangat Rigid oleh Peraturan Menteri Desa PDTT. Sehingga Kepala Desa tidak dapat melaksanakan Visi Misi nya yang termaktub dalam RPJMDesa.
Terima kasih.
Salam