Pembatasan Kekuasaan
Masa jabatan hingga 6 tahun dengan periodisasi sebanyak 3 kali yang apabila dijumlahkan sebanyak 18 tahun merupakan masa jabatan yang terlampau panjang dan tidak sesuai dengan prinsip konstitusionalisme yang menghendaki adanya pembatasan kekuasaan dan menghindari excessive atau abuse of power. Limitasi kekuasaan ini dapat dilakukan dengan pengaturan masa jabatan kepala desa yang rasional sesuai dengan UUD 1945. Apabila tetap bertahan pada pengaturan Pasal 39 UU Desa maka akan membuka ruang abuse of power yang berseberangan dengan prinsip konstitusionalisme, negara hukum, dan demokrasi konstitusional.
Aturan mengenai terlampau panjangnya masa jabatan dan periodisasi jabatan kepala desa berpotensi menimbulkan institusional disaster, sebab aturan ini bertentangan dengan prinsip konstitusionalisme, prinsip proporsionalitas, tidak disusun dengan landasan argumentasi yang rasional dan komprehensif. Selain itu, tidak memikirkan arah, penguatan, dan grand design pembangunan dan kemajuan desa, yang dapat berujung pada pelanggaran hak konstitusional warga negara, terutama berkenaan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28B ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Salah satu bentuk arogansi yang dilakukan oleh kepala desa adalah pada proses pengangkatan perangkat desa. Kepala desa sering kali mengangkat perangkat desa yang memiliki hubungan politis, kekeluargaan, maupun hubungan kekerabatan dengan kepala desa. Salah satu contoh nyata adalah proses pengangkatan kepala desa yang terjadi di desa Pemohon, tepatnya pada Desa Ononamolo Tumula, Kecamatan Alasa, Kabupaten Nias Utara. Walaupun telah dilakukan penyeleksian dan penyaringan perangkat desa, namun kepala desa tidak tunduk pada nilai hasil seleksi tersebut. Kepala desa justru mengangkat peserta seleksi perangkat desa dengan nilai urutan ketiga (peringkat). Kepala desa dengan sewenang-wenang dan penuh arogansi lebih memilih untuk mengangkat perangkat desa yang memiliki hubungan kepentingan dengan dirinya. Karena peserta dengan peringkat I hendak memperjuangkan haknya, maka yang bersangkutan bersama-sama dengan masyarakat desa melayangkan surat keberatan kepada kepala desa hingga bupati namun surat keberatan tersebut diabaikan dan sama sekali tidak ditanggapi oleh kepala desa maupun bupati.
Menurut Pemohon, Mahkamah harus bertindak untuk membatasi masa jabatan dan periodisasi jabatan kepala desa agar sesuai dengan prinsip UUD 1945. Pemohon pun meminta agar dalam pertimbangannya Mahkamah memberikan penjelasan bahwa masa jabatan dan periodisasi kepala desa tidak boleh ditambah. Hal ini dalam rangka menjalankan fungsi mahkamah yaitu sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution) dan sebagai pengawal demokrasi (the guardian of the democracy).
Oleh karena itu, Pemohon dalam petitumnya meminta MK menyatakan Pasal 39 ayat (1) UU Desa bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Kepala Desa memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan.”. Kemudian menyatakan Pasal 39 ayat (2) UU Desa bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjabat paling banyak 2 (dua) kali masa jabatan secara berturut- turut atau tidak secara berturut-turut.”
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengatakan pemohon kurang menguraikan syarat kerugian konstitusional. “Mestinya bisa diuraikan supaya punya legal standing itu diuraikan menggunakan lima kriteria yang menyangkut Anda mempunyai hak konstitusional yang diberikan oleh UUD. Kemudian hak konstitusional tersebut dirugikan karena UU yang diujikan atau pasal yang diujikan. Dan kerugian konstitusional yang dirugikan bersifat spesifik dan khusus, aktual atau potensial, itu nanti diuraikan dengan menggunakan kriteria ini dan yang agak sulit adanya hubungan sebab akibat antara kerugian itu dengan UU atau pasal yang diujikan. Yang terakhir dengan dikabulkannya permohonan ini maka kerugian konstitusional ini tidak terjadi lagi. Itu tolong pada waktu menguraikan mengenai legal standing dibahas secara mendalam,” urai Arief saat memberikan saran perbaikan permohonan.
Sedangkan Hakim konstitusi Enny Nurbaningsih menjelaskan secara umum permohonan Pemohon telah memenuhi Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK). Hanya saja menurut Enny, perlu penajaman-penajaman agar lebih kuat dan komprehensif.
“Pada bagian perihal, tolong diperjelas yang Anda mohonkan tadi perihalnya apa. Ini kan hanya menyebutkan UU Nomor 6 Tahun 2014, dipertegas saja. Mulai dari perihal ini dipertegas Anda menguji apa. Kemudian di bagian kewenangan MK, walaupun sudah Anda buat seperti ini, sebaiknya nanti disusun lagi. Pertama, Anda uraikan MK tuh sumbernya dari UUD dulu, kemudian UU Kekuasaan Kehakiman, UU MK, UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, kemudian Anda tambahkan setelah itulah Anda menyebutkan objek yang diuji apa itu dengan batu ujinya apa,” kata Enny,
Sebelum menutup persidangan, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menegaskan tenggang waktu perbaikan permohonan yakni Senin, 27 Februari 2023. “Berkas perbaikan permohonan baik hard copy dan soft copy diterima MK paling lambat pukul 13.30 WIB. Sidang selanjutnya ditentukan kembali oleh MK dan akan diberitahukan kepada Pemohon melalui Kepaniteraan,” kata Daniel.