Seiring berjalannya waktu, perangkat desa kemudian menjadi salah satu “primadona” barudi kalangan masyarakat desa dan alasannya jelas bahwa menjadi perangkat desa adalah merupakan sumber mata pencaharian lainnya bagi warga desa yang mungkin tidak lagi melakukan aktivitas masyarakat desa yang kita kenal pada umumnya.
Dikeluarkannya PP terkait penghasilan perangkat desa dan Permendagri tentang pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa kemudian menimbulkan beberapa permasalahan baru pada jalannya pemerintahan di desa. Salah satu yang saat ini sedang marak dan terjadi hampir di seluruh wilayah negeri adalah penggantian perangkat desa yang tidak melalui prosedur sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tren baru penggantian perangkat desa tersebut telah berkembang menjadi topik pembicaraan masyarakat desa masa kini yang dinilai lebih melek aturan dan informasi.
Dalam aturan, pemerintah secara jelas telah menjamin bahwa perangkat desa dapat diberhentikan jika sudah menginjak usia 60 tahun, meninggal dunia, mengundurkan diri, ataupun melanggar larangan. Namun keberadaan proses pemilihan kepala desa yang bermakna politis juga menjadi batu sandungan bagi kepala desa terpilih dalam menjalankan mekanisme pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa.
Penggantian perangkat desa kerap terjadi pasca pemilihan kepala desa. Jabatan perangkat desa terpaksa menjadi bagian dari “jualan politik”para calon kepala desa demi memuluskan perjalanan untuk mendapat kepercayaan memimpin pemerintahan desa selama enam tahun ke depan. Tidak jarang posisi perangkat desa menjadi jaminan bagi tim sukses calon kepala desa, sehingga seketika terpilih kepala desa akan segera menggantikan secara sepihak perangkat desa lama yang diidentifikasi menjadi lawan politik ataupun tidak mendukung dalam proses pilkades tanpa memperhatikan nilai-nilai dari kompetensi, kecakapan, kemampuan serta persyaratan untuk menjadi perangkat desa.
Dengan penghasilan minimal setara dengan PNS golongan II/a tentu saja akan menarik minat masyarakat untuk menjadi perangkat desa. Salah satu jalan yang mungkin dapat ditempuh adalah ikut terlibat dalam kancah pemilihan kepala desa. Berkomitmen untuk memperjuangkan salah satu calon kepala desa agar dapat terpilih menjadi kepala desa selama enam tahun bahkan sampai 18 tahun ke depan bukanlah komitmen yang sia-sia tentunya, terlebih jika dapat menghasilkan SK perangkat desa.
Untuk itu perlu adanya perhatian khusus dari pemerintah terkait dampak dari PP terkait penghasilan perangkat desa dan Permendagri tentang pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa yang harus “ditabrakkan” dengan kondisi pilkades yang tentunya sangat politis. Mungkin diperlukan adanya peningkatan pengetahuan dari calon kepala desa terhadap aturan terkait perangkat desa atau bahkan perlu adanya peningkatan syarat kompetensi bagi calon kepala desa agar dapat mudah memahami dan mengamalkan aturan terkait sebelum proses pilkades dilaksanakan.
Pilkades dan perangkat desa sebaiknya dapat menjadi kesatuan dalam efektifitas pembangunan desa di masa modern seperti sekarang. Para kepala desa ataupun masyarakat desa yang kemudian memiliki keinginan memimpin pemerintahan desa sebaiknya tidak mencampur adukkan proses Pilkades dengan proses pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa yang jelas-jelas memiliki acuan tersendiri dalam pelaksanaannya. Perangkat desa bukanlah alat politik praktis dalam Pilkades, melainkan alat pembangunan dan pengembangan desa.
Nurul Alif Densi
Asisten Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Sulawesi Barat