JAKARTA – Menjelang pemungutan suara Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, pada Senin 05 Februari 2024 DPR dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyebutkannya sudah tercapai kesepakatan pembahasan tingkat I revisi UU Desa. Butir-butir kesepakatan legislatif dan pemerintah antara lain, masa jabatan kades menjadi delapan tahun dengan batas maksimal dua periode.
Ada pula disebutkan calon kades tunggal bisa ditetapkan tanpa perlu melawan kotak kosong.
Terkait tuntutan masa jabatan yang akhirnya disepakati, Wakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi menyampaikan alasan, selama ini pemilihan kades umumnya berdampak konflik sosial berkepanjangan.
Jadi, masa jabatan enam tahun dinilai tidak cukup bagi para kades untuk menyelesaikan ketegangan serta melaksanakan program pembangunan.
“Kalau enam tahun pilkades itu dirasa belum cukup waktunya untuk menghilangkan trauma-trauma itu. Dan kades-nya belum membangun masih sibuk konsolidasi sudah memasuki masa habis jabatan,” lanjutnya seperti dikutip dari laman DPR, Rabu (28/2).
Buat para kepala desa, masa jabatan delapan tahun sudah dinilai pas. Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) Surtawijaya mengungkapkan, masa jabatan delapan tahun ideal bagi kades. Seperti, pernah diatur dengan UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Tertulis, masa jabatan kades delapan tahun dalam satu periode. Lalu, dapat dipilih kembali untuk satu periode berikutnya.
Surta yang sudah tiga periode jadi kades ini, menguraikan pengalaman mengampu jabatan dengan periode enam tahun. Dia mengaku, tidak mampu mengatasi polarisasi di masyarakat akibat pemilihan kades dengan hanya waktu enam tahun. Tidak cukup membangun desa.
“Baru saja redup, kondusif tiba-tiba jabatan habis. Kapan mau membangun desa?” papar dia, Kamis (22/2).
Dengan masa jabatan kades yang lebih lama, menurut kepala desa di Tangerang, Banten ini, ada waktu untuk membangun desa bersama masyarakat. Bahkan, dia yakin, gelaran pilkades delapan tahun sekali, akan menghemat dana pemda yang selama ini terlalu banyak keluar untuk pilkades.
Sementara itu, nasib baik kurang berpihak kepada perangkat desa. Seperti kita ketahui ini perangkat desa melalui PPDI, selalu memperjuangkan kejelasan status kepegawaian dari para pamong warga desa ini.
Dalam pembahasan tingkat pertama yang dilakukan awal bulan Februari 2024 kemarin, tidak ada sama sekali pembahasan tentang usulan dari organisasi profesi perangkat desa terbesar di tanah air.
Memang ada beberapa pasal perubahan yang menyasar perangkat desa, sebagai contoh adanya tunjangan purna tugas yang diberikan sekali dalam pengabdian-nya. Akan tetapi pasal tersebut sebagai bagian dari usulan dari para Kepala Desa.
Medio Februari ini Dirjen Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri yang baru di lantik, La Ode Ahmad Pidana Balombo, berkenan menerima perwakilan organisasi-organisasi desa yang salah satunya di hadiri oleh Ketua Umum PPDI, Moh. Tahril.
Dalam kesempatan tersebut Ketua Umum PPDI memyampaikan beberapa hal yang diantaranya menyikapi adanya ketidak berpihakan kepada perangkat desa dalam pembahasan tingkat pertama revisi UU Desa, khususnya tidak masuknya usulan PPDI berkaitan status perangkat desa.
Menanggapi hal tersebut Dr. La Ode Ahmad Pidana Bolombo, A.P., M.Si menyampaikan perlu adanya kajian mendalam berkaitan dengan status perangkat desa namun bukan hal yg tidak mungkin nantinya akan di buatkan aturan dalam hal ini regulasi yg mengatur perangkat desa lebih jauh menyangkut status perangkat desa dan hal ini beliau berjanji akan segera mengkomunikasikan dg Menteri Dalam Negeri.
Masih ada waktu meski tidak terlalu lama untuk kembali menyuarakan keinginan dari perangkat desa dalam perubahan kedua Undang-Undang Desa, sebelum di sahkan oleh DPR sebagai Undang-undang. Apalagi melihat banyaknya permasalahan seputar perangkat desa yang terjadi dibeberapa daerah, utamanya pemberhentian non prosedural perangkat desa, sering molornya penyaluran penghasilan tetap perangkat desa.
Perlu rasanya Pemerintah bersama DPR RI sebagai perwakilan rakyat mampu melihat lebih bijak lagi, perubahan mana yang dirasa lebih urgent bagi perangkat desa dan kepala desa, sebagai ujung tombak pemerintahan di level paling bawah.