Sosialisasi Undang-Undang No 03 Tahun 2024 tentang perubahan kedua atas Undang – undang nomor 6 tahun 2014 Tentang Desa, telah dilakukan baik oleh Pemerintah Pusat maupun Daerah disejumlah wilayah Indonesia.
Direktur Jenderal Bina Pemdes Kementerian Dalam Negeri La Ode Ahmad dalam sosialisasi tentang UU ini pada awal Mei, mengatakan terdapat sejumlah muatan atau substansi baru yang perlu ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah setelah terbitnya regulasi tersebut.
Menurutnya, UU Nomor 3 Tahun 2024 menjadi salah satu panduan dalam penatalaksanaan tata kelola pemerintahan desa.
Undang-Undang Desa juga telah mengalami transformasi dan sudah melalui berbagai tahap pembentukan undang-undang yang dibahas bersama antara pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Ada harapan yang terkabul adapula keinginan yang tidak tercapai dalam perubahan kedua atas Undang-Undang Desa ini. Seperti yang sudah diketahui bahwa dalam regulasi tentang desa yang terbaru ini kurang berpihak kepada perangkat desa.
Banyak aspirasi dari perangkat desa yang selama ini telah disampaikan baik melalui audensi dengan Kementerian Dalam Negeri, maupun lewat anggota dewan di Gedung DPR RI. Mulai dari keinginan perangkat desa untuk diakui status kepegawaiannya oleh Pemerintah, sampai dengan peningkatan kesejahteraan secara signifikan tidak banyak diatur dalam UU yang ditandatangani oleh Presiden Jokowi pada tanggal 25 April yang lalu.
Sempat berhembus kabar yang melegakan terkait dengan aturan pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa oleh Bupati, namun pada akhirnya terungkap jelas bahwa aturan tersebut masih seperti yang dimuat dalam UU No 06 Tahun 2024.
Meski dalam aturan tersebut (Pasal 26 ayat 2) dijelaskan bahwa Kepala Desa berwenang mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa ke Bupati/Walikota, tapi tidak secara otomatis Bupati/Walikota yang menerbitkan Surat Keputusan tersebut, semua tetap ada di kewenangan dari Kepala Desa.
Kekecewaan perangkat desa dari berbagai daerah mulai muncul dengan belum adanya perubahan aturan dalam pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa, mengingat selama ini banyak kasus pemberhentian perangkat desa tanpa mengikuti prosedur oleh (oknum) kepala desa utamanya diluar Pulau Jawa.
Selama ini perangkat desa melalui organisasi Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) berharap DPR bersama Pemerintah Pusat mengkaji kembali aturan tentang penerbitan SK pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa oleh Kepala Desa.
Tidak dipungkiri bahwa banyaknya kasus pemberhentian perangkat desa ini sebagai eskalasi dari pemilihan kepala desa, dimana sering terjadi ada perbedaan pilihan dalam proses Pilkada tersebut diantara perangkat desa dan Kepala Desa yang terpilih. Belum lagi janji-janji kampanye dari Kepala Dsa terpilih untuk menempatkan orang-orang kepercayaannya di pemerintahan desa paska dilantik, tentu menjadikan konflik ini semakin memanas.
PPDI dibawah kepimpinan Moh Tahril tentu sudah melakukan upaya-upaya untuk menyampaikan aspirasi tersebut, namun pada akhirnya DPR dan Pemerintah Pusat dirasa belum ada keberpihakan yang lebih, sebagaimana mereka (DPR dan Pemerintah) lebih banykan mengakomodir aspirasi dari Kepala Desa.
Lalu, apakah yang harus dilakukan perangkat desa untuk meng”gol”kan aspirasinya? Haruskah mogok kerja atau kembali menggelar demo besar-besaran di Jakarta? Ataukah mau menunggu 5 tahun lagi untuk memanfaatkan momentum tahun politik sebagaimana para kepala desa bisa memanfaatkan di tahun 2024 ini untuk menambah masa jabatannya?