Semarang – Hal-hal baru diusulkan dalam draf RUU perubahan kedua UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Setidaknya ada 5 poin penting revisi kedua UU Desa, salah satunya adalah usulan pembentukan hakim perdamaian desa.
Hakim perdamaian desa merupakan lembaga mediasi desa yang menjadi penengah jika ada masalah-masalah di tingkat desa. Sehingga masalah yang terjadi di tingkat desa bisa terselesaikan tanpa harus ke ke kepolisian atau pengadilan.
Dilansir dari suaramerdeka.com, Wakil Ketua Komite I DPD RI Abdul Kholik mengatakan usulan tentang hakim perdamaian desa merupakan sesuatu yang baru di undang-undang. Harapanya, ada penyelesaian masalah melalui mekanisme pendekatan dari tokoh-tokoh masyarakat di desa.
“Jadi kalau ada masalah, tak harus selalu berurusan dengan kepolisian dan pengadilan. Yang ujung-ujungnya proses lebih lama dan memakan waktu. Selain itu hal jika diselesaikan secara hukum dan pasti ada pihak yang menang dan kalah cenderung merusak keharmonisan masyarakat desa.
Kalau dengan mediasi hakim perdamaian desa diharapkan tetap ada keharmonisan,” kata Abdul Kholik di sela-sela uji sahih draf RUU tentang perubahan kedua UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa di kantor DPD RI Perwakilan Jateng di Kota Semarang, Senin (14/6).
Selain Abdul Kholik, hadir tiga narasumber lain dalam uji sahih tersebut. Yakni Kepala Dispermasdes Dukcapil Jateng, Sugeng Riyanto, akademisi Undip Dr Kushandajani MA dan akademisi UKSW Salatiga Dr Umbu Rauta. Hadir pula anggota Komite I DPD RI.
Selanjutnya, Abdul Kholik mengatakan setidaknya ada lima hal lain yang menjadi semangat dalam revisi UU Desa tersebut.
Pertama adalah memiliki misi penguatan kembali kewenangan desa karena selama ini timbul berbagai persoalan.
Kedua, keinginan penguatan digitalisasi desa salah satunya masuknya internet ke desa dengan lebih masif. Hal itu menjadi bagian peningkatan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan desa termasuk soal dana.
Ketiga, mendorong perlindungan kepala desa dan perangkat desa perihal persoalan hukum. DPD RI mendorong penyelesaian persoalan berbasis pada Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) dan tidak harus selalu masuk ke ranah pidana.
“Karena di sana ada aspek administrasi, jadi tak harus ditarik ke pidana. Sehingga kades memiliki keleluasaan dalam mengelola namun tetap harus taat asas,” katanya.
Selanjutnya, perihal penguatan desa maka harus ada integrasi antara dana dari APBN, Pemprov dan kabupaten. Sehingga anggaran itu bisa dioptimalkan untuk pengembangan desa.
Kelima adalah dorongan pemilihan kepala desa dengan kearifan lokal setempat. Jika itu tidak bisa maka penyelenggaraan Pilkades didorong dilakukan oleh KPU dan Bawaslu. Sehingga akan lebih akuntabel hasilnya.
Akademisi UKSW Salatiga Dr Umbu Rauta mengatakan ada hal-hal yang menarik dalam draf tersebut. Seperti soal kewenangan, masa jabatan perangkat desa, hingga hakim perdamaian desa.
Ia menyebut keberadaan hakim perdamaian desa itu bagus sebagai bentuk upaya penyelesaian persoalan dengan berbasis pada desa.
Tapi harus hati-hati soal unsurnya siapa saja, perangkat desa, kades atau tokoh desa. Apakah hakim itu juga ex officio dengan jabatan kepala desa? Padahal bisa jadi ada tokoh desa lain yang berpengaruh dan dihormati.
“Perlu kekuatan yang mengikat soal hasil yang diputuskan hakim perdamaian desa. Jangan sampai selesai diputuskan namun tetap ke ranah hukum,’’ kata Umbu.
Sementara itu, PPDI melalui Sekretaris Jendral, Sarjoko, S.H, menyampaikan draft usulan yang telah disusun satu hari sebelumnya pada Rapimnas PPDI di Magelang.
” Draft usulan dari PPDI seusai amanah dari anggota akan kami kawal terus sampai paripurna nanti, mari bersama-sama berikhtiar agar apa yang menjadi perjuangan dari PPDI dapat sekiranya masuk dalam revisi UU Desa,” pinta Sarjoko menutup obrolan.