Kembali, Makhamah Konstitusi Tolak Gugatan Uji Materi Perangkat Desa

JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materiil Pasal 29 huruf g, Pasal 51 huruf g, dan Pasal 64 huruf h Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada Rabu (30/8/2023) siang. Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 76/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Mahmudi yang merupakan seorang perangkat desa.

“Amar putusan, menolak permohonan Pemohon untuk semuanya,”Demikian disampaikan oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya seperti yang dilansir dari mkri.id.

Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat,  sesungguhnya kedudukan perangkat desa sangat strategis sehingga diharapkan dapat disi oleh orang-orang yang bukan saja profesional dan berintegritas dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, namun juga merupakan pribadi yang dapat diterima, dipercaya dan dihormati sebagai pamong desa, serta memperoleh legitimasi masyarakat desa dalam menjalankan pemerintahan desa untuk membawa masyarakat desa ke arah terwujudnya kesejahteraan, ketertiban, dan kemajuan desa.

Oleh karena itu, dalam membantu kepala desa melaksanakan tugas dan kewenangan tersebut dibutuhkan adanya independensi, profesionalitas, dan ketidakberpihakan (netralitas dan perangkat desa khususnya dalam memberikan pelayanan publik). 

Netralitas merupakan asas yang penting dalam penyelenggaraan tugas pelayanan publik, tugas pemerintahan, dan tugas pembangunan yang diemban setiap pegawai pemerintah, maupun pejabat pemerintah atau pejabat negara agar dapat menjalankan tugasnya secara profesional.

Netralitas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai keadaan dan sikap netral, dalam arti tidak memihak atau bebas, maksudnya dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya harus bebas dari kepentingan, intervensi, bebas dari pengaruh, adil, objektif, dan tidak memihak. Adapun netralitas politik dimaksudkan tidak terlibat dan tidak memihak terhadap kepentingan partai politik tertentu.

“Dalam upaya menjaga netralitas jabatan, baik kepala desa dan perangkat desa harus lepas dari pengaruh partai politik dalam rangka menjamin persatuan dan kesatuan serta serta menjamin keberlangsungan pelayanan publik tetap terselenggara dengan baik melalui pemusatan segala perhatian, pikiran, dan tenaga pada tugas yang dibebankan kepada mereka,” terang Arief.

Harus Netral

Berkenaan dengan hal di atas, sambung Arief, sebagai konsekuensi dari kewenangan yang melekat pada jabatan perangkat desa sebagai pembantu kepala desa, sudah seharusnya terdapat pengaturan terhadap netralitas politik, yaitu berupa larangan untuk menjadi pengurus partai politik sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 51 huruf g UU 6/2014.

Keterlibatan perangkat desa dalam kepengurusan suatu partai politik akan menyebabkan munculnya berbagai permasalahan dalam menjalankan penyelenggaraan pemerintahan desa. Besamya kemungkinan terjadi keberpihakan dari perangkat desa terhadap partai politik yang dinaunginya kemudian dapat dimanifestasikan dalam pembentukan kebijakan dan penggunaan anggaran desa.

Hal demikian sangat berpotensi menimbulkan kecemburuan yang menyebabkan perpecahan antar perangkat desa sehingga pada akhimya akan berdampak pada pengabaian terhadap kepentingan kesejahteraan masyarakat desa itu sendiri. 

Dikatakan Arief, dalam menjalankan pemerintahan desa dibutuhkan pemangku jabatan yang netral serta bebas dari pengaruh kepentingan politik tertentu sehingga harus diatur tersendiri adanya pembatasan keterlibatan politik bagi kepala desa maupun perangkat desa sebatas keterlibatan dalam menjadi pengurus suatu partai politik agar dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya tetap memusatkan perhatian kepada pelayanan publik demi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat desa.

Hal demikian tidak dapat diartikan sebagai bentuk penghilangan kemerdekaan berserikat dan berkumpul dalam suatu wadah partai politik bagi kepala desa, perangkat desa, maupun anggota badan permusyawaratan desa namun pembatasan tersebut dikarenakan terdapatnya kepentingan publik yang lebih besar dalam pelaksanaannya. Meskipun demikian, pembatasan tersebut tidak bersifat mutak, karena baik kepala desa, perangkat desa maupun anggota badan permusyawaratan desa masih dapat menggunakan hak politiknya untuk memberikan suaranya dalam pemilu.

Di samping itu, sambung Arief, secara normatif sesuai dengan asas hukum, UU 6/2014 merupakan lex specialis sedangkan UU Parpol merupakan lex generalis. Oleh karena itu, ketentuan yang bersifat khusus mengenyampingkan ketentuan yang bersifat umum (lex specialis derogate legi generalis), sehingga adanya pembatasanlarangan bagi kepala desa, perangkat desa, dan anggota badan permusyawaratan desa menjadi pengurus partai politik bukan merupakan perlakuan diskriminasi terhadap jabatan tersebut.

Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut menurut Mahkamah, dalil Pemohon berkenaan dengan telah terjadi pelanggaran terhadap kemerdekaan berserikat dan berkumpul karena dilarangnya perangkat desa menjadi pengurus partai politik sebagaimana terdapat dalam ketentuan norma Pasal 51 huruf g UU 6/2014 adalah tidak beralasan menurut hukum. 

 “Sehingga, berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat Pasal 51 huruf g UU 6/2014 telah lemyata memberikan kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan serta memberikan hak untuk memajukan diri dalam memperjuangkan hak secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya sebagaimana dijamin oleh Pasal 28 dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian, permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” tandas Arief.

Sebelumnya, pada sidang pendahuluan, Pemohon yang hadir secara daring menyampaikan hak konstitusional Pemohon yang telah dijamin oleh UUD 1945 sebagaimana di atas telah dilanggar dengan adanya ketentuan pelarangan menjadi pengurus partai politik pada Pasal 29 huruf g, Pasal 51 huruf g, dan Pasal 64 huruf h UU Desa.

Menurutnya, Pemohon memiliki hak untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.

Selain itu, sambung Mahmudi, pemohon juga memiliki hak untuk mendapat pendidikan politik dari partai politik sebagaimana fungsi Partai Politik, tidak pernah Pemohon dapatkan dikarenakan ketentuan Pasal 29 huruf g, Pasal 51 huruf g dan Pasal 64 huruf h UU Desa. Kemudian, hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.

Mahmudi menegaskan, Pemohon diperlakukan tidak adil, diskriminatif, dan tidak diberi kesempatan yang sama dalam pemerintahan oleh ketentuan Pasal 29 huruf g, Pasal 51 huruf g, Pasal 64 huruf h UU Desa karena setingkat jabatan Presiden, Wakil Presiden, Menteri, DPR, DPRD, Kepala Daerah tidak dilarang menjadi anggota/pengurus partai politik.

Sedangkan, pejabat di tingkat desa dilarang menjadi anggota/pengurus partai politik. Sehingga, dalam petitumnya, Pemohon meminta MK Pasal 29 huruf g, Pasal 51 huruf g, Pasal 64 huruf h UU Desa bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

About admin

Check Also

Peroleh 23 Suara Di Musda, Suwanto Terpilih Menjadi Ketua PPDI Pasawaran 2024-2029

Pesawaran, 19 Oktober 2024 – Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) Kabupaten Pesawaran sukses menggelar Musyawarah …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *