Perjuangkan Status Perangkat Desa Melalui Sidang Uji Materiil UU Desa, Ini Jawaban Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji materiil Pasal 1 sampai dengan Pasal 95 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) terhadap UUD 1945 pada Kamis (27/10/2022) dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan. Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 102/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Hendra Juanda, Wibowo Nugroho, Yuliana Efendi, Fredi Supriadi dan Utep Ruspendi yang berprofesi sebagai perangkat desa.

Dilansir dari mkri.id, dalam sidang perdana yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra tersebut, Hendra Juanda yang merupakan sekretaris desa menyampaikan bahwa ia mengajukan pemohonan pengujian UU Desa. Menurutnya, adanya UU Desa tidak berdampak pada kesejahteraan hidup para perangkat desa dan justru dirugikan.

“Kami banyak dirugikan dengan adanya UU ini, diantaranya dengan adanya UU ini tidak serta-merta melindungi kami sebagai perangkat desa buktinya masih banyak pemberhentian-pemberhentian sepihak di berbagai daerah. Kemudian kami tidak diakui sebagai alat negara karena kami sebagai yang bekerja di institusi pemerintah yang notabene sebagai bagian dari pemerintah terkecil di NKRI tetapi sampai saat ini status kepegawaian kami masih belum jelas apakah kami ASN, apakah kami karyawan atau PPPK sampai saat ini belum ada kejelasan. Sementara kami harus melaksanakan tugas-tugas negara sebagai penyedia layanan publik dan penyedia barang publik,” ujar Hendra secara daring kepada Panel Hakim yang juga terdiri dari Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Wahiduddin Adams tersebut.

Dalam permohonannya, para Pemohon menyebutkan pengundangan UU Desa sangat merugikan para Pemohon dan rakyat Indonesia secara keseluruhan. Kerugian yang diderita para Pemohon dan warga desa seluruh Indonesia sebagai akibat pemberlakuan UU Desa adalah faktual.  Dengan kebijakan politik desa melalui UU Desa, para Pemohon dan warga desa seluruh Indonesia terugikan. Perangkat desa sangat terugikan karena diberi tugas oleh negara untuk melaksanakan undang-undang, tapi tidak diangkat sebagai ASN. Rakyat desa sangat terugikan karena tidak diurus oleh satuan pemerintahan formal sebagaimana warga kota. Akibatnya warga desa hanya dilayani oleh organisasi pemerintah semu dengan perangkat desa yang tidak kompeten dan profesional karena mereka bukan aparatur sipil negara yang direkrut, dikembangkan, diberi jabatan karir, digaji, dan pensiun sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.

Selain itu, warga desa didiskriminasi oleh negara karena dibedakan dengan warga kota. Warga kota diurus oleh satuan birokrasi negara formal, yaitu kelurahan dengan perangkat kelurahan yang kompeten dan profesional karena mereka adalah ASN. Hendra juga menyebut warga desa tidak mendapatkan barang publik dan/atau jasa publik dari satuan pemerintahan formal modern tapi hanya mendapatkan pelayanan dari organisasi pemerintah semu warisan penjajah Jepang dengan nomenklatur Pemerintah Desa. Akibatnya warga desa tidak menerima barang publik dan/atau jasa publik dasar yang dibutuhkan yaitu pendidikan, perawatan kesehatan, air minum, pengurusan sanitasi, transportasi publik desa, pemberian KTP dan KK warga desa, pengurusan anak yatim dan anak terlantar, perumahan warga desa, persampahan, pengurusan pertanian (persawahan, perkebunan, perikanan, perternakan, pernelayanan), pengurusan irigasi tersier, penyediaan sarana produksi pertanian (bibit, pupuk, obat-obatan, alat pertanian), penyediaan sarana-prasarana ekonomi rakyat desa, penyediaan keuangan mikro petani dan nelayan, penataan lingkungan desa, dan utilitas desa.

Oleh karena itu, para Pemohon mohon agar Pasal 1 sampai dengan Pasal 95 UU 6/2014 dibatalkan karena bertentangan dengan Pasal 4, Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 juncto TAP MPR IV/2000, Angka [3.10.1] – [3.10.4] juncto Putusan MK Nomor 128/PUU-XIII/2015, dan sangat merugikan hak-hak konstitusional perangkat desa dan warga desa seluruh Indonesia.

Nasihat Hakim

Menanggapi permohonan pemohon, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams meminta pemohon untuk menguraikan kedudukan hukum dari masing-masing pemohon. “Berlima itu atau satu persatu tentu harus diuraikan Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV dan Pemohon IV syarat konstitusional itu ada atau enggak uraikan  secara betul dan logis,” jelas Wahiduddin.

Sementara Hakim Konstitusi Suhartoyo menyarankan para pemohon untuk memperbaiki sistematika permohonan. “Sistematika harus diperbaiki yang utama karena bapak-bapak belum pernah beracara di MK soal kewenangan MK, kemudian kedudukan hukum dan alasan-alasan permohonan serta petitum. Nanti bisa dilihat permohonan-permohonan yang dikabulkan MK pasti sistematikanya sudah benar termasuk bagian-bagian lainnya. Oleh karena itu tanpa bermaksud mencampuri pilihan-pilihan yang menjadi hak pemohon, saya mendorong supaya dipertimbangkan kembali mengenai banyaknya pasal-pasal yang diajukan permohonan. Tentunya tidak semua akan berkorespondensi dengan anggapan kerugian konstitusi yang khusus,” terang Suhartoyo.

Panel Hakim memberikan waktu selama 14 hari kerja kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya. Pemohon harus menyerahkan perbaikan permohonan selambatnya pada 9 November 2022 ke Kepaniteraan MK.

About admin

Check Also

Sowan Pj Bupati Madiun, PPDI Persiapkan Agenda Besar Setelah Lebaran

MADIUN – Memanfaatkan momentum bulan suci Ramadhan, Pengurus Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) melakukan silaturahmi …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *