Ternyata Begini Sejarah THR Pertama Kali Di Indonesia, Bagaimana Dengan Perangkat Desa?

Tunjangan Hari Raya atau THR menjadi hal yang paling ditunggu-tunggu para pekerja menjelang hari raya Lebaran. Biasanya, THR bakal cair di sekitar H minus 7 menjelang lebaran.

Selama dua tahun belakangan pemberian T H R mengalami banyak hambatan. Hal itu disebabkan oleh pandemi COVID-19. Namun tahun ini, melihat perekonomian mulai pulih dari pandemi pemberian THR kembali jadi kewajiban untuk dipenuhi.



Presiden Jokowi beberapa waktu yang lalu telah menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pemberian Tunjangan Hari Raya dan Gaji Ketiga Belas kepada Aparatur Negara, Pensiunan, Penerima Pensiun, dan Penerima Tunjangan Tahun 2022.

dalam pidatonya Presiden Jokowi menyebutkan bahwa keputusan ini sebgai bentuk apresiasi Pemerintah terhadap kinerja ASN, TNI Polri dalam masa pandemi.

Jika melihat apa yang disampaikan Presiden tersebut seakan-akan menampikkan peran serta perangkat desa dalam penanggulangan covid-19. Mengingat hampir sebagian besar wilayah Indonesia ada di pedesaan, tentu peran serta perangkat desa dalam peran serta penanggulangan pandemi tidak bisa dikesampingkan.

Perangkat Desa yang notabene bekerja dalam lingkungan pemerintahan malah tidak mendapatkan THR sebagaimana pegawai pemerintah yang lain.



Buruh atau karyawan swasta pada awalnya tidak mendapatkan THR , sebagaimana  yang dialami perangkat desa saat ini.

Lalu bagaimana perjalanan sejarah thr itu sendiri, dan sampai pada akhirnya kaum buruh mendapatkan THR dari tempat bekerja?.  Begini sejarah THR di Indonesia.

THR sendiri muncul sudah sejak berpuluh-puluh tahun lamanya. Di mulai pada awal 1950-an, yang dicetuskan oleh Soekiman yang kala itu menjadi Perdana Menteri.

Soekiman Wirjosandjojo menjadi sosok yang pertama kali mencetuskan adanya THR keagamaan.

Salah satu program kerja Kabinet Soekiman yang dilantik pada April 1951 itu adalah meningkatkan kesejahteraan aparatur negara. Salah satu cara Kabinet Soekiman adalah memutuskan untuk memberikan tunjangan kepada para pamong pradja, kini P N S, menjelang hari raya.

Kebetulan juga saat itu ekonomi juga cukup baik. Sehingga untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai diberilah tunjangan hari raya.



Ketika itu besarnya THR yang dibayarkan kepada para pamong pradja sebesar Rp 125 hingga Rp 200 per orang. Selain THR dalam bentuk uang, kabinet Soekiman juga memberikan tunjangan dalam bentuk beras yang diberikan ke pegawai negeri sipil setiap bulannya.

Memang, pada awalnya THR baru berlaku di lingkungan pegawai negeri alias PNS. Saat itu belum ada aturan tentang kewajiban perusahaan swasta membayar THR kepada pegawainya.

Nah, ternyata kebijakan Kabinet Soekiman memberikan THR bagi pamong pradja diprotes kalangan buruh. Protes dilayangkan karena para buruh merasa tidak adil bila pegawai negeri mendapatkan THR sementara mereka tidak.

Para buruh juga merasa sudah bekerja keras untuk membangkitkan perekonomian nasional, namun sama sekali tak mendapatkan perhatian dari pemerintah. Gelombang protes membesar. Hingga, pada 13 Februari 1952, para buruh melakukan mogok kerja menuntut untuk diberikan THR juga dari pemerintah.

Singkat cerita, aksi buruh itu bisa diredam oleh pemerintah. Soekiman juga meminta perusahaan swasta ikut memberikan THR kepada para pekerjanya. Namun begitu, jalan panjang tetap dilalui buruh hingga akhirnya mereka mendapatkan kepastian pemberian THR sebagaimana yang telah diterima oleh para PNS.

Pemberian THR bagi pegawai swasta baru menjadi mandatori setelah diatur pemerintah pada 1994. Saat itu Menteri Tenaga Kerja menerbitkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. 04/1994 tentang THR Keagamaan bagi pekerja di perusahaan.

Pada tahun 2003 peraturan tersebut disempurnakan dengan terbitnya UU nomor 13 tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. Dalam peraturan tersebut diatur bahwa pegawai yang sudah bekerja lebih dari 3 bulan wajib mendapatkan tunjangan.

THR yang diterima juga disesuaikan dengan lamanya masa kerja, sedangkan untuk pekerja yang sudah satu tahun bekerja mendapat THR sebesar 1 bulan gaji kerja.

Pemerintah kembali melakukan revisi aturan tentang THR pada 2016. Dalam peraturan ini disebutkan bahwa THR diberikan selambat-lambatnya 7 hari sebelum hari raya keagamaan masing-masing pekerja.

Perlu rasanya perjalanan sejarah buruh dalam mendapatkan THR dapat di napaktilasi perangkat desa, agar tahun-tahun kedepan Perangkat Desa mendapatkan juga.

https://youtu.be/pf-3ec3T91A




About admin

Check Also

Bareng Apdesi, PPDI Rajadesa Adakan Halal Bi Halal

CIAMIS – Momen suasana Bulan Syawal ini dimanfaatkan Pеrѕаtuаn реrаngkаt Dеѕа Indonesia ( PPDI ) …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *